Sabtu, 15 Februari 2014

Bunga Pelangi di Hutan Larangan



Mulyoto M.

Mayang menatapku redup. Paras cantiknya memutih seperti bunga lili yang sudah layu. Bibirnya yang biasanya merah-merekah, kini tampak membiru.
“Bertahanlah, Mayang! Aku akan mencari bunga pelangi di Hutan Larangan. Seperti yang diminta Tabib,” ujarku sambil menggengam tangannya erat.
Istriku ini seorang bidadari. Dua bulan lalu dia turun ke bumi bersama saudara-saudaranya ketika muncul pelangi di langit senja yang menghubungkan kayangan dengan air terjun di atas bukit. Para bidadari itu turun ke bumi karena ingin mandi di air terjun yang airnya bersih dan jernih.
Saat itu aku mengendap-endap di dalam semak sambil mencari cara agar aku bisa menyunting salah satu bidadari itu. Tentu, aku tidak akan meniru caranya Jaka Tarub sebagaimana kisah yang didongengkan Ibu saat aku kanak dulu. Menurutku, selain cara itu tidak gentle –mencuri selendang milik salah satu bidadari- cara itu sudah tidak efektif. Nawang Wulan, istri Jaka Tarub, yang sudah kembali ke kayangan, tentu sudah bercerita kepada para bidadari. Atau mungkin dia malah sudah bikin buku: Hati-Hati dengan Selendangmu.
Tiba-tiba para bidadari berteriak. Aku terkejut bukan main sehingga dengan refleks aku keluar dari persembunyianku. Ada ular sangat besar, mendesis-desis dan menjulurkan lidahnya kepada para bidadari. Aku memasang kuda-kuda di depan ular itu, sementara para bidadari berteriak-teriak histeris di belakangku.
Ular itu maju menyerangku. Dengan secepat kilat aku ngeles, lalu memegang ekornya. Ular itu kuputar-putar, lalu kuhempaskan pada batang pohon hingga kepalanya terbentur keras. Rupanya, seketika ular itu mati.
Para bidadari masih menjerit. Kali ini mereka memegang tangan dan bahuku dari arah belakang. Mereka melongok kepada ular dengan takut-takut.
“Sudah. Semua sudah aman,” ujarku. Terus terang, aku grogi juga. Baru kali ini aku disentuh wanita. Apalagi yang menyentuhku adalah para bidadari yang tapak tangannya begitu lembut.
“Siapa namamu, Kisanak?” tanya bidadari berkemben biru.
“Tejo. Sutejo,” jawabku.
“Sebuah nama yang bagus,” ujar bidadari berkemben merah yang diiyakan oleh bidadari lainnya.
“Begini, karena Kisanak, maksudku Mas Tejo, telah menolong kami, kalau mau Mas Tejo boleh menjadikan kami istri.
Siapa yang menolak? Batinku. “Semuanya?”
“He eh.” Semua bidadari mengangguk.
“Cukup satu saja,” ujarku. “Terus terang, aku tidak bisa berbagi kasih dengan empat orang sekaligus. Dengan dua orang saja, aku tak bisa.”
“Waduh, gimana ini?” tanya bidadari berkemben kuning.
“Gimana kalau diundi saja?” usulku.
“Maksud Mas Tejo?” tanya bidadari berkemben hijau.
“Begini, kalian berempat berdiri di situ. Ketika aku memejamkan mata, posisi kalian boleh diacak. Dengan mata tertutup, aku akan memilih satu di antara kalian,” jelasku. “Aku pasrah akan dapat yang mana karena kalian semua cantik. Semua sama, tidak ada yang lebih cantik satu dengan lainnya.”
“Setuju,” sahut para bidadari serentak.
Maka, undian pun dilaksanakan. Aku memilih tanpa menggunakan indikator, mungkin dari baunya, kehalusan kulitnya, suaranya, atau apanya begitu. Karena bagiku, bisa menikah dengan bidadari -yang sudah lama menjadi obsesiku- aku sudah merasa beruntung.
Tereng.
Begitu aku sudah mendapatkan pilihanku, mataku aku buka. Bidadari berkemben biru tersenyum manis dengan memegang dadanya. “Alhamdulillah. Terima kasih. Mas Tejo sudah memilihku.”
Bidadari itu langsung bergelayut di bahuku. Tiga bidadari lainnya tampak kecewa, tapi hal itu segera dibuangnya dengan memberi selamat kepada bidadari berkemben biru.
“Jadilah istri yang shalehah, Adiku!” kata mereka satu per satu sambil menyalami bidadari berkemben biru dilanjutkan dengan bercipika-cipiki.
Aku baru tahu, mereka berempat ternyata bersaudara. Makanya, mereka mirip sekali?
Para bidadari memakai selendangnya lalu terbang ke angkasa untuk kembali ke kayangan, kecuali bidadari berkemben biru, tentunya. Mereka terbang menuju pelangi yang masih melengkung di langit barat yang sudah berwarna jingga.
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Mayang,” jawab bidadari itu dengan suara lembut. Seperti suara Sembadra dalam pentas wayang kulit di rumah Pak Lurah tempo hari.
***
Begitulah, berkat kegigihanku dengan mendatangi air terjun tiap kali ada pelangi di atas bukit, akhirnya aku bisa bertemu dengan para bidadari, lalu menikahi salah satu darinya. Hal yang selama ini dianggap mustahil, termasuk oleh ibuku sendiri. Saat aku membawa Mayang ke rumah, Ibu berkali-kali mencubiti lengannya, lalu mencubiti lengan Mayang. Ibu meyakinkan dirinya, bahwa  Ibu tidak sedang bermimpi.
Dua bulan sesudah kami menikah, Mayang tampak murung. Sebagai suami yang penuh pengertian, aku bertanya, “Ada apa Mayang? Kok, Mayang kelihatan bersedih?”
“Mayang tidak bersedih, Mas Tejo. Mayang hanya rindu pada Ayah dan Ibu!” jawabnya lirih.
“Oh, begitu?” tanyaku lagi.
“Ya,” jawabnya .
“Ya, sudah. Mayang jenguk saja Ayah dan Ibu di kayangan, ya!”
“Bolehkah?”
“Tentu saja!”
“Terima kasih, Mas Tejo. Terima kasih.”
 Masih bisa terbang, kan?”
“Mudah-mudahan.”
Lalu Mayang mengambil selendangnya di almari. Begitu selendang itu diikatkan di pinggangnya, ia pamit. “Mayang berangkat, Mas Tejo!”
“Ya, jangan lama-lama, ya!” pintaku.
“Ya, Mas Tejo. Cuma satu hari saja.”
Tubuh Mayang terangkat. Akan tetapi, ketika ia sudah berada pada ketinggian pohon kelapa, ia oleng. Ia tak mampu menguasai diri. Tubuhnya menabrak pohon kelapa di depan rumah, lalu pohon trembesi, dan akhirnya terjerembab ke tanah.
“Kenapa, Mayang? Apakah kamu sudah lupa caranya terbang?”
Mayang tidak bisa menjawab. Napasnya tampak begitu berat.
Hingga lima hari setelah peristiwa itu, keadaan Mayang belum beruhah. Sudah empat tabib kudatangkan, namun belum ada tanda-tanda kesemubuhan Mayang. Hingga tabib kelima memintaku untuk mencari bunga pelangi di Hutan Larangan.
“Bunga itu hanya mekar di bulan Januari, saat pelangi muncul usai gerimis,” jelas Tabib.
“Aku akan berangkat, Mayang! Bertahanlah!” ujarku lagi.
***
Namanya saja Hutan Larangan. Tentu, hutan ini belum pernah dijamah oleh manusia. Atau mungkin sudah pernah dijamah manusia, tapi manusianya tidak pernah kembali.
Hutan ini benar-benar wingit. Pohon-pohon berusia ratusan tahun berdiri tegar. Semak berduri tumbuh begitu lebatnya. Suara-suara aneh terengar: suara burung yang terdengar asing di telingaku, teriakan kera, lalu aungan srigala.
Ketika aku menjelajahi hutan sehari lamanya, aku melihat bunga yang warna kelopaknya beraneka: merah, jingga, kuning, ungu, hijau, biru dan ungu. Lengkap sekali. Semua warna yang ada pada pelangi, ada di situ.
Aku segera mendekat dan akan memetiknya ketika tiba-tiba muncul sosok seorang perempuan berkelebat. Meski perempuan itu berpakaian ala pendekar, rona-rona kecantikannya kentara sekali.
“Eit, siapa yang berani akan memetik bungaku? Bunga yang sudah setahun ini kutunggu kemunculanku?”
“Maaf, Mbak! Namaku Sutejo. Aku sangat membutuhkan bunga itu untuk menyembuhkan istriku!” jawabku.
“Tidak bisa!” ujarnya tegas.
“Tolonglah, Mbak! Aku sangat memerlukan bunga itu. Hidup-matinya istriku, sangat tergantung pada bunga ini!”
“TIDAK BISA.”
“Aku akan menempuh segala macam cara untuk mendapatkan bunga ini.”
“Termasuk cara kekerasan?”
“Apa pun caranya.”
Tiba-tiba perempuan itu membabi buta menyerangku. Benar, ia memang seorang pendekar. Itu terlihat dari jurus-jurus yang ia perlihatkan.
Aku tidak pernah belajar ilmu silat. Modalku untuk melawan pendekar itu hanya semangat yang dilandasi oleh rasa cinta yang sangat besar kepada Mayang.
Setelah aku mampu meladeni pertempuran dalam beberapa jurus, tonjokan perempuan itu bersarang di dadaku. Aku jatuh tersungkur. Aku berusaha bangkit, tapi jatuh lagi.
Aku tetap merangkak untuk meraih bunga pelangi, tapi perempuan itu menghentikan tanganku dengan menginjaknya.
Ia tersenyum sinis. Aku baru menyadari, di balik paras cantiknya, tersembunyi hati yang sadis.
“Bagaimana, masih mau menempuh segala cara?” tanyanya. Dia masih tersenyum sinis.
“Ya,” jawabku.
“Baik. Kalau begitu, kau boleh mengambil bunga itu, lalu memberikan kepada istrimu. Setelah istrimu sembuh, kau harus kembali ke sini untuk menikah denganku,” ujarnya sambil terbahak.
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun-daun kering beterbangan. Perempuan itu sedikit demi sedikit berubah menjadi ular besar berkepala manusia.
Aku mundur beberapa langkah. Aku baru menyadari, aku sedang berhadapan dengan siluman ular.
“Bagaimana? Kau setuju?”
Aku berpikir sejenak. Begitu aku ingat Mayang yang merintih, aku gelap mata. “Baik, aku setuju.”
***
Aku segera membawa bunga pelangi tujuh rupa, lalu memberitahu Tabib.
Setelah Tabib meminumakan air rendaman bunga itu kepada Mayang, dan melulurkan bunganya ke wajah, tangan, dan kakinya, Mayang bisa bergerak dan berbicara. Ia langsung memelukku.
“Terima kasih! Terima kasih, Mas Tejo,” ujar Mayang.
“Ya, Mayang,” ujarku datar.
Tiba-tiba aku teringat akan janjiku pada siluman ular.
Satu hari, dua hari, satu minggu, dua minggu. Ketika genap satu bulan dan aku belum kembali ke Hutan Larangan, siluman ular mencariku ke kampung.
“Hai, Tejo! Kau mengingkari janjimu, ya?” tanya Siluman Ular geram.
Aku tak menjawab. Lalu menatap wajah Mayang yang penuh tanda tanya. “Apa janji, Mas Tejo?”
“Aku berjajanji pada siluman ular, kalau Mayang sudah sembuh setelah mendapatkan pengobatan dari bunga pelangi, aku akan menyerahkan diri pada siluman itu,” jelasku.
“Mas Tejo. Lalu apa gunanya Mayang sembuh, kalau Mayang harus kehilangan Mas Tejo?” ujar Mayang.
Aku memeluk istriku yang cantik itu.
Siluman Ular bertambah geram, lalu ia menyembur kami. Ternyata, ia bisa menyemburkan api. Mulanya, api melalap kami, tapi akhirnya api itu berbalik ke arah Siluman Ular. Api terus berkobar membakar Siluman Ular. Dia menggelepar-gelepar hingga akhirnya tewas.
Satu hal yang baru kami sadari –mungkin juga baru disadari oleh Siluman Ular- perpaduan cinta kami menghasilkan kekuatan dahsyat, bahkan lebih dahsyat dari kekuatan Siluman Ular yang sakti mandraguna itu.[]
Mulyoto M dilahirkan di Trenggalek, 19 Mei 1970. Alumni S1 Universitas Malang (1995) dan S2 ITS Surabaya (2007) ini memiliki kompetensi utama sebagi guru matematika. Tapi, akhir-akhir ini dia kesengsem dengan dunia fiksi, khususnya kepenulisan cerpen. Laki-laki yang kini tinggal di Mojokerto ini telah tergabung dalam beberapa antologi cerpen, antara lain: Dewangga (Deka Publisher, 2013), Lelakiku, di Antara Hujan & Kenangan (Indie Publishing, 2013), Mendung di Lereng Ungaran (Pustaka Nusantara, 2013), dan Perempuan Berselendang Biru (Pustaka Nusantara, 2013).