Selasa, 24 Februari 2009

Jangan Pernah Vonis Anak Didik

MULYOTO

Ada kalanya sebagai guru, saya khilaf. Saya suka bangga melihat anak-anak didik saya yang pintar, cepat nyantol kalau diajar, dan tanggap terhadap materi yang saya sampaikan. Sebaliknya, saya kadang suka tidak sabar (baca: gregeten) terhadap anak yang masih saja ndomblong ketika saya telah mengumpankan materi belajar, yang saya rancang telah cukup menarik minat, dan saya sudah mengajarkannya dengan cara yang sangat gamblang.

Saya ini sudah berusaha menyampaikan materi matematika dengan cara yang sederhana. Saya tidak terlalu banyak menggunakan bahasa verbal. Saya gunakan contoh-contoh untuk menanamkan konsep. Contoh yang paling sederhana. Baru, sedikit demi sedikit dengan dasar pemahaman yang telah dimiliki, siswa saya ajak untuk belajar materi yang lebih rumit. Eh, masih saja ada beberapa yang gak nangkap-nangkap.

Usut punya usut, anak-anak yang rada kurang tanggap ini ternyata saat masuk di sekolah tempat saya mengajar (status RSBI, Rintisan Sekolah Bertarap Internasional), memiliki nilai tinggi dalam ujian nasional. Nilai matematika 8, 9, bahkan 10. Tapi, faktanya, kok?

Itulah, bagaimana saya bisa percaya pada hasil ujian nasional kalau kayak begini. Rasanya aneh ketika anak SLTA ketika menghitung penjumlahan bilangan bulat saja gak mampu. Saya kembali harus menjelaskan dengan analogi utang piutang. Gimana ini?

Saya menghela nafas. Saya pernah punya sakit jantung, dan gak ingin penyakit saya kambuh lagi. Nafas yang masuk ke dalam rongga dada saya sedikit melegakan saya, lalu saya membaca istigfar. Saya gak boleh marah. Saya gak boleh emosi, apalagi memvonis si anak. Saya tetap sabarkan diri dan berpikir positif. Toh, kemampuan matematika bukan satu-satunya kunci untuk sukses bukan. Siapa tahu, meski gak pinter matematika, dia pinter meyakinkan orang sehingga bisa menjadi seorang pedagang sukses. Atau, mungkin bisa menjadi seorang sastrawan, atau entahlah. Siapa yang bakal tahu nasib orang?

Keyakinan saya ternyata betul juga. Di antara mantan siswa saya yang sukses dan menyapa dengan ramah kepada saya, ternyata tidak selalu dari kalangan siswa brilian. Siswa yang dulu biasa-biasa saja, bahkan sangat kurang itu ternyata ada di antaranya yang sukses dan menjadi manusia yang berguna. Dalam hati, kalau ketemu dengan anak seperti ini, saya bersyukur bahwa saya dulu masih diberi kesabaran dan gak marah-marah padanya.

"Pak, masih ingat dengan saya? Saya Hani, yang dulu paling gak bisa matematika. Masih ingat, kan?" kata salah laki-laki muda menyapa saya. Tentu, saya pun ingat. Dan, ternyata berkat keteguhan hatinya, anak ini telah memiliki usaha yang cukup berkembang.

Wahai, teman. Jangan pernah vonis anak didik akan jadi apa! Biarkan dia menjadi dirinya sendiri. Kita tidak bisa menentukan mereka akan jadi apa-apa, kita hanya membantunya sedikit agar mereka tumbuh berkembang secara optimal pada jati dirinya masing-masing.